Terlalu Jawa Sentris, Logo Halal Baru Tanpa Urgensi
Oleh : Brigitta Emtimanta
Editor : Ghithrafani Hanifah
Psikojur — Belum lama ini, BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) dari Kemenag (Kementerian Agama) mengumumkan pergantian logo halal Indonesia. Terdapat perbedaan yang kontras antara logo yang baru dengan logo yang selama ini dipakai. Logo lama identik dengan bentuk lingkaran dan berwarna hijau, sedangkan logo baru hadir dengan desain berbeda, sedangkan logo baru yang dikeluarkan oleh BPJPH didominasi oleh warna ungu berbentuk gunungan.
Yaqut Cholil Qoumas, selaku Menteri Agama, menyampaikan bahwa nantinya logo halal dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang selama ini dipakai tidak akan berlaku lagi. Beliau juga mengatakan kalau pembuatan logo baru bukanlah tanpa sebab, melainkan selaras dengan berpindahnya wewenang sertifikasi halal yang sebelumnya dipegang oleh MUI ke Kemenag selaku bagian dari pemerintah. Meskipun begitu, dalam prosesnya tetap disesuaikan dengan fatwa halal yang dikeluarkan oleh MUI.
Hal ini juga didukung dengan pernyataan dari Kepala BPJPH, Muhammad Aqil Irham. Beliau menjelaskan pergantian label atau logo itu sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) RI No.39 Tahun 2021 tentang Jaminan Produk Halal. Dalam Pasal 90 disebutkan bahwa label halal ditetapkan oleh BPJPH.
Penggantian logo ini menuai beragam reaksi dari masyarakat. Sebagian tidak begitu mempermasalahkan hal ini, selama bisa menjamin suatu produk makanan dan minuman benar-benar halal. Namun tak sedikit juga yang justru mempertanyakan perubahan logo tersebut.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Jazuli Juwaini, menilai bahwa penggantian logo ini sebenarnya tidak penting. Beliau berpendapat kalau Kemenag sebaiknya berfokus pada sosialisasi sistem dan mekanisme penyelenggaran JPH yang baru agar memudahkan masyarakat.
Tak hanya itu, desain logo tersebut juga ikut dikritik. Bahkan ada anggapan kalau logo halal yang baru cenderung bersifat jawa-sentris, akibat bentuknya yang menyerupai gunungan, salah satu simbol dalam dunia pewayangan. Meskipun dari pihak BPJPH dan Kemenag sudah memberikan pernyataan kalau desain tersebut bertujuan untuk mengangkat nilai-nilai dan budaya Indonesia, tidak hanya budaya suku tertentu saja.
Berkaitan dengan desain baru ini, Anwar Abbas, selaku Wakil Ketua Umum MUI ikut memberikan pendapatnya. Beliau mengatakan kalau penulisan kata “halal” dalam bahasa Arab yang ada di logo tersebut tidaklah jelas sehingga dapat membingungkan masyarakat.
Penggantian logo halal memang tidak menyalahi aturan yang ada, namun tetap saja terdapat berbagai aspek yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Logo halal keluaran MUI sudah dipakai dalam jangka waktu yang lama dan sudah umum digunakan di seluruh dunia. Maka, dengan diterbitkannya logo halal yang baru, masyarakat butuh pembiasaan lagi.
Hal berikutnya yang perlu menjadi perhatian adalah tenaga, biaya dan waktu yang dibutuhkan perusahaan, pabrik ataupun pedagang makanan dan minuman yang perlu mengubah kemasan produknya. Yang menjadi masalah adalah, tak sedikit produk makanan dan minuman Indonesia yang sudah dipasarkan keluar negeri, dimana kemasan tersebut banyak menggunakan logo halal MUI.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, diharapkan Kemenag, khususnya BPJPH untuk meninjau kembali keputusan perubahan logo ini karena berkaitan dengan khalayak ramai. Logo halal bukanlah hanya sebatas “logo”, namun menjadi simbol dan yang memudahkan masyarakat agar bijak dalam memilih produk yang akan dikonsumsi.
Psikologi Jurnalistik 2022
Salam tinta, salam cinta, Psikojur jaya!
#KritisInPsikojur