Pembredelan Band Sukatani: Pengekangan Kebebasan Bersuara dan Berkarya, Apakah Memang Benar All Cops are Ba****d?

Mau bikin SIM, bayar polisi

Ketilang di jalan, bayar polisi

Touring motor gede, bayar polisi

Angkot mau ngetem, bayar polisi

Aduh, aduh, ku tak punya uang

Untuk bisa bayaaar polisi

Sepenggal lirik dari lagu “Bayar, bayar, bayar” karya band asal Purbalingga, Sukatani menjadi fenomena akhir-akhir ini. Lagu yang diciptakan dengan penuh gairah, realitas yang menghujam dan satire ini menunjukkan bagaimana sebenarnya dinamika yang berkoar bernama kebebasan berpendapat kini sebagai sesuatu yang mahal dan terkesan formalitas belaka. Kebebasan berpendapat yang dihukum oleh kekuasaan kosong dari orang-orang yang kosong pula, tanpa isi kepala dan hati nurani akan sesama. Kekuasaan kotor layaknya serigala yang berpura-pura menjadi domba manis dan membohongi semua.

Band Sukatani merupakan band anonim yang terdiri atas dua personel. Mereka bernama Alectroguy dan Twister Angel. Menutupi diri mereka dengan topeng, yang sebenarnya begitu lumrah dalam ranah karya seni musik, terlebih itu juga hak semua orang untuk tidak tampil di publik. Hak agar merasa nyaman, hak atas kerahasiaan diri dan asasi nurani. Hak yang kini sudah dilucuti oleh tangan-tangan busuk institusi “oknum” Polri, di mana jika mereka dikumpulkan akan memenuhi satu batalyon super gede. Institusi yang kini berubah menjadi kacung-kacung oligarki yang tidak pernah puas akan air-air tergenang kekuasaan. Institusi yang kini sukanya menjilat, memenuhi isi perut dengan banyaknya harta-harta yang didapat dari menindas. Bernada kedzoliman, perut mereka yang selayaknya tempat pembuangan paling kotor dalam sejarah. 1312, kode yang begitu melekat pada diri dan tabiat mereka.

Bagaimana tidak? Tertanggal 20 Februari 2025 kemarin, band yang tidak pernah menunjukkan wajah mereka ke publik tiba-tiba mengeluarkan video klarifikasi. Mereka meminta maaf kepada institusi Polri, dengan nada yang terdengar diancam dan terpaksa. Kebebasan mereka diperkosa dan dipertontonkan kepada publik yang terus bertanya-tanya.

“Pada hari ini, kamis tertanggal 20 Februari 2025, perkenalkan saya Muhammad Syifa Al-Lutfi dengan nama panggung Alectroguy selaku gitaris dan saya Novi Citra Indriyati dengan nama panggung Twister Angel selaku vokalis dari band grup Sukatani memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak Kapolri…” ucap personel band tersebut dengan nada yang menunjukan keterpaksaan di akun media sosial band Sukatani.

Bagaimana bisa pula seniman, dengan skenario paling masuk akal meminta maaf atas kebebasan karya mereka di publik, dengan sadar, sukarela dan tanpa paksaan meminta maaf dan menyatakan telah menarik karya mereka dari peredaran? Wajah-wajah yang penuh kebebasan itu kini tertunduk, merasa bahwa institusi “oknum” Polri kini tengah “menghukum” mereka atas kebenaran yang diungkapkan dan ditolak oleh mereka sendiri. Institusi yang juga penuh kebohongan, kelucuan dan juga sama palsunya dengan kinerja mereka di masyarakat. Band Sukatani tidak seharusnya mendapatkan perlakuan seperti ini.

Padahal jika dipikir mendalam, dan mungkin saja berpikir tidaklah terlalu berat untuk orang dewasa berpangkat dan berseragam seperti mereka (kalau mereka juga pernah berpikir), lagu itu tidak secara eksplisit menyebutkan institusi kepolisian negeri ini, atau logo mereka yang selalu mereka bangga-banggakan itu. Mungkin saja lagu itu menyuarakan kritik untuk kepolisian negara antah-berantah, Zimbabwe misalnya? Mungkin saja. Walaupun juga pada akhirnya mereka tidak terlalu mengerti esensi karya seni yang mengkritik dengan cara-cara unik.

Apapun itu, sepertinya pengamalan secara nyata UUD Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh undang-undang,” adalah omong kosong belaka. Seperti omongan anak kecil yang tidak pernah menepati janjinya, layaknya tabiat pemerintah yang selayaknya anak kecil main negara-negaraan. Kebebasan berpendapat bersyarat, asal tidak menyinggung ego pihak tertentu, asal tuan senang-senang saja, asal mereka aman-aman saja duduk di kursi istana. Kebebasan berpendapat, berkarya, dan berekspresi yang semuanya kini diatur sedemikian rupa oleh tangan-tangan kotor tanpa hati nurani.

Jika dipikir-pikir kembali, negeri ini semakin lucu dan semakin lucu. Orang-orang yang tidak pernah berpikir yang mungkin tidak punya pikiran, menguasai aset-aset kesejahteraan rakyat, aset-aset keamanan rakyat, aset-aset kebebasan rakyat. Mereka menguasai semuanya, lalu cuci tangan jika ada kekacauan, merasa lugu dan tidak tahu apa-apa. Mereka memiliki boneka-boneka berseragam, yang pandai menjilat dan juga tidak pernah berpikir seperti mereka. Mereka memiliki semuanya untuk mengekang pikiran rakyat mereka sendiri.

Imbasnya, setelah lagu band Sukatani ditarik dari seluruh platform musik, vokalis band Sukatani yaitu Novi Citra Indriyani dipecat dari pekerjaannya sebagai guru sekolah dasar. Merupakan sebuah ironi yang begitu tertampak jelas. Amarah rakyat mengamuk layaknya api membara di siang bolong. Setelah menjadi viral di media sosial, memang pula di negeri ini jika apa-apa harus viral dulu, institusi Polri menjadi salah tingkah.

Institusi Polda Jateng mengklarifikasi bahwa mereka hanya memeriksa band Sukatani terkait lagu mereka, walaupun juga pada akhirnya pernyataan ini hanyalah bualan semata. Ini merupakan bentuk intimidasi dan pembredelan karya musik. Kritikan dan karya yang terus melawan akan selalu menjadi duri-duri kecil bagi orang-orang rakus institusi. Lagu ini seharusnya membangun dan menjadi renungan bagi institusi Polri untuk lebih baik lagi kedepannya, walaupun mereka selalu menutup kuping dan mata. Mengisi perut mereka dengan congok. Walau pula pada pernyataan berikutnya menyebut akan menjadikan band Sukatani menjadi duta Polri, itu tidak akan mengurangi skeptis masyarakat terhadap institusi dan orang-orang dibalik mereka. Menjadikan semuanya memihak, agar proses pemikiran kritis lambat laun menjadi pudar dan basi. Seolah-olah institusi ini peduli, menjadikan Sukatani ikon dari kepolisian itu sendiri dan dengan diam-diam serta strategi yang halus agar dapat membungkam kebebasan dalam berkarya. Menjadikan mereka yang dibawahnya sebagai pion penguasa yang tidak mampu lagi melawan. Memang begitu mainnya.

Pandangan mengenai kebebasan karya seni ini juga diungkapkan oleh Affan, vokalis Band asal Jakarta, Hai High Mantra.

“Karya seni menurut saya sendiri adalah sebuah alat untuk mengekspresikan diri, termasuk untuk mengkritik. Kalau di Indonesia sendiri, mengkritik merupakan hal yang menjadi hak kebebasan setiap orang,” ujar Affan.

Pembredelan karya seni termasuk musik merupakan tindakan melanggar etika dan hak asasi manusia.

“Ada ambiguitas di antara undang-undang (mengenai kebebasan berpendapat), maksudnya di lagu Sukatani pun tidak menyebut secara jelas dan frontal mengenai institusi kepolisian yang dimaksud. Bisa saja polisi Australia, bisa aja juga polisi amerika kan? Padahal dari zaman Yunani, lukisan-lukisan itu berisi kritikan semua, begitupun lagu,” jelas vokalis band asal Jakarta tersebut.

Affan juga menjelaskan bahwa lagu-lagu yang berisi kritikan seharusnya dapat menjadi arah perbaikan bagi pemerintah agar dapat lebih baik lagi ke depan.

“Seharusnya karya musik seperti lagu Sukatani ini menjadi bahan refleksi pemerintah lah, dan dipertimbangkan dengan baik. Jadi tidak bisa semena-mena dalam mengambil keputusan untuk mengambil keputusan dalam men-takedown lagu dari Sukatani,” ucap Affan.

“Harapan dari saya, semoga semua musisi menyanyikan lagu itu (Bayar, bayar, bayar). Setiap manggung, tetap menyuarakan lagu itu lagi, tetap mengkritik pemerintah dengan segala seninya, lewat lagunya, lewat puisinya, apapun itu, bebas! Jadi harus disuarakan lewat seni!” lanjut Affan.

Mereka yang merasa tersinggung, malu dan marah-marah pada lagu band Sukatani jelas tidak mengerti mengenai Efek Streisand. Sederhananya, efek ini adalah segala jenis upaya penyensoran, penghapusan atau menghilangkan suatu informasi, namun justru membuat informasi yang ada semakin tersebar luas. Apa yang diusahakan untuk dihilangkan malah makin memperbesar rasa penasaran dan perhatian publik. Eksistensi band Sukatani kini menjadi bukti nyatanya.

Kebebasan berpendapat akan terus digaungkan. Kasus yang ada menjadi refleksi semua, bisa di kemudian hari hal ini akan semakin parah dan telanjang. Hari ini musik, lalu besok buku, lalu besok lusa apa lagi? Tetap kritis, kawal kebenaran bersama dan jadikan hari ini menjadi tonggak untuk terus melawan. Segala upaya masyarakat untuk mencapai titik keadilan dan kebenaran merupakan usaha sakral dalam mewujudkan dunia yang adil bagi kita semua.

Layaknya ucapan Tan Malaka, “Hanya ada ‘satu aksi massa,’ yakni satu aksi massa yang terencana yang akan memperoleh kemenangan, di satu negeri yang berindustri seperti Indonesia!”

Tetap berusaha dan lawan menuju Indonesia yang lebih cerah kedepannya. Kita semua bersama band Sukatani dan orang-orang yang terus menggemakan kebebasan di negeri ini.

Penulis: Hasbi Harris | Editor: Yuma Raditya & Abrar Hartono

#KritisinPsikojur
#PsikologiJurnalistik

--

--

Lembaga Pers Mahasiswa Psikologi Jurnalistik
Lembaga Pers Mahasiswa Psikologi Jurnalistik

Written by Lembaga Pers Mahasiswa Psikologi Jurnalistik

Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro - Salam tinta, salam cinta, Psikojur jaya!

No responses yet