Kesetaraan Berpendapat dalam Jurang Feodalisme Akademik Kampus

--

Dunia yang semakin busuk seperti sekarang memerlukan adanya kesetaraan dan keadilan satu sama lain. Mengutip dari pernyataan John Rawls, seorang filsuf moral kontemporer di dalam bukunya A Theory of Justice (1971) mengatakan: “Justice is the first virtue of social institutions, as truth is of systems of thought,”. Sejatinya keadilan maupun kesetaraan merupakan hak setiap orang dan harapan pertama dalam mencapai kebajikan di masyarakat. Sebagaimana halnya kebenaran dibentuk, maka demikian pula menjadi pijakan awal dari suatu sistem pemikiran dan ide.

Berangkat dari konsep diatas, seharusnya keadilan dan kesetaraan diimplementasikan secara nyata seperti halnya kebebasan serta kesetaraan dalam berpendapat (Farida, 2021). Pada faktanya, kebebasan berpendapat yang diupayakan secara setara dalam masyarakat acapkali terhalang oleh relasi kuasa maupun cengkeraman feodalisme yang mengikat (Kusuma et al., 2023). Halangan-halangan seperti ini memunculkan kultur inferioritas oleh kalangan bawah, sehingga apabila mengeluarkan pendapat atau kritik dianggap sebagai perbuatan yang tidak senonoh (Wahyuni, 2024). Kaum-kaum yang rentan mengalami diskriminasi dalam hal kebebasan berekspresi bisa mencakup golongan rakyat sipil, kaum minoritas, kaum perempuan maupun mahasiswa (Qudsya, 2023).

Unsur feodalisme dan ketimpangan relasi kuasa menyebabkan kesetaraan berpendapat dalam ruang akademik kampus bermasalah. Mahasiswa tidak bebas berpendapat sehingga penyaluran ide dan sudut pandang kritis tidak terjadi secara optimal. Mahasiswa dipaksa tidak merdeka menyatakan pemikiran sesuai hati nurani atas pelanggaran HAM yang dinormalisasi (Gettari et al., 2023). Feodalisme yang dibangun terhadap upaya busuk penormalisasian oleh petinggi kampus termasuk dosen meniscayakan konsep pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa itu sendiri (Sunuyeko, 2023).

Gaya pengajaran otoriter yang dilakukan oleh kalangan dosen menghambat upaya-upaya pengajuan pemikiran kritis oleh mahasiswa dan diskursus sehat mengenai suatu ide tidak akan berjalan (Sintiawati, 2022). Selain itu, upaya pengaburan intelektualitas oleh pengancaman nilai dan persepsi yang salah atas norma kesopanan kepada orang yang lebih tua kerapkali terjadi (Laia, 2022). Feodalisme dalam ranah akademik sepatutnya tidak lagi dinormalisasi demi memenuhi ego ketimpangan relasi kuasa yang dianut oleh sebagian besar petinggi kampus.

Mental terjajah mahasiswa tidak akan pernah berubah oleh sikap feodalisme yang mengakar pada ranah akademik. Upaya pencerdasan dan kemerdekaan berpikir demi tercapainya kemajuan ilmu pengetahuan malah dirusak sendiri oleh pihak kampus (Sintiawati, 2022).

Kesetaraan berpendapat dalam dunia akademik kampus harus diupayakan secara progresif. Upaya ini dilakukan dengan revolusi mental seluruh kalangan civitas academica demi tercapainya kemerdekaan berpikir yang komprehensif. Merdeka berpikir sepatutnya dibudidayakan sehingga adanya kultur ini membawa angin segar bagi mahasiswa dalam mengeluarkan potensi unik dan ide-ide yang kritis (Mustaghfiroh, 2020).

Penormalisasian yang mengarah pada kesetaraan berpendapat merupakan hasil dari kemerdekaan berpikir. Budaya diskursus yang sehat dalam pengajaran, lingkungan yang kondusif dalam kesetaraan berpendapat maupun menghargai secara penuh pendapat yang berbeda dapat tercapai apabila proses revolusi mental terjadi. Proses ini memang tidak dapat terjadi secara instan oleh karena itu upaya tersebut memerlukan kesadaran kolektif seluruh kalangan civitas academica (Patty, et al., 2024).

Mencapai Indonesia Emas 2045 memang tidak mudah. Oleh karena itu, revolusi mental yang diupayakan secara progresif sehingga menghasilkan kesetaraan berpendapat pada ranah akademik kampus merupakan kunci yang penting demi terwujudnya hal tersebut.

Segala harapan kemajuan ada di generasi saat ini.

Penulis: Hasbi Haris | Editor: Hanna Isabel

DAFTAR PUSTAKA

Farida, E. (2021). Kewajiban Negara Indonesia terhadap Pemenuhan Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. QISTIE: Jurnal Hukum, 14(2), 43–57. DOI: 10.31942/jqi.v14i2.5590.

Gettari, T. R., Viana, W. O., & Mene, M. (2023). Hak Asasi Manusia Dan Kebebasan Berekspresi Di Indonesia. Ensiklopedia of Journal, 5(2), 232–236. http://jurnal.ensiklopediaku.org.

Kusuma, E., Wahyu, S., Yuniani, T., Zaenantin, F., Gilang, P., & Santoso, A, P. (2023). Kebebasan Berpendapat dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Sanskara Hukum dan HAM, 1(3), 97–107. DOI:10.58812/shh.v1i03.63.

Laia, A. (2022). Pendidikan di Indonesia Layu Sebelum Berkembang. NDRUMI: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Humaniora, 5(1), 45–51. DOI: https://doi.org/10.57094/ndrumi.v5i1.522.

Mustaghfiroh, S. (2020). Konsep “Merdeka Belajar” Perspektif Aliran Progresivisme John Dewey. Jurnal Studi Guru dan Pembelajaran, 3(1), 141–147.

Patty, J., Lekatompessy, M, F., & Lekatompessy, J. (2024). Dinamika Hubungan Kekuasaan Antara Dosen Pembimbing dan Mahasiswa Dalam Konteks Feodalisme Akademik. Indo-MathEdu Intellectuals Journal, 5 (6), 6673–6695. DOI: http://doi.org/10.54373/imeij.v5i6.2058.

Qudsya, L, A., & Habibah, M, S. (2023). Kebebasan Mahasiswa Dalam Berpendapat dari Prespektif HAM. Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance, 3(3), 3035–3049. DOI: 10.53363/bureau.v3i3.366.

Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Belknap Press.

Sunuyeko, N., Jasuli., & Rochsun. (2023). Harmonisasi Olah Nalar dan Olah Rasa; Sebuah Seni Mendidik di Era Merdeka Belajar. Jurnal Filsafat, Sains, Teknologi, dan Sosial Budaya, 29, 87–96.

Sintiawati, N., et., al. (2023). Partisipasi Civitas Akademik dalam Implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Jurnal BASICEDU, 6(1), 902–915. DOI: https://doi.org/10.31004/basicedu.v6i1.

Wahyuni, R., & Desiandri, S, Y. (2024). Hak Asasi Manusia (HAM) Pada Kebebasan Berpendapat/Bereksperesi dalam Negara Demokrasi di Indonesia. Jurnal Sains dan Teknologi, 5(3), 961–966. DOI: https://doi.org/10.55338/saintek.v5i3.2422.

--

--

Lembaga Pers Mahasiswa Psikologi Jurnalistik
Lembaga Pers Mahasiswa Psikologi Jurnalistik

Written by Lembaga Pers Mahasiswa Psikologi Jurnalistik

Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro - Salam tinta, salam cinta, Psikojur jaya!

Responses (1)