Kasus Bunuh Diri: Pantaskah Dikomentari Sesuka Hati?
Oleh: Hanita Azzahra & Aurelia Pramusintho
Editor: Amira Tsabitah
Psikojur – Kematian memang sesuatu yang tidak dapat dielakkan lagi kehadirannya, sesuatu yang tidak diketahui pasti memang dapat menjadi sebuah hal yang menakutkan. Kematian bisa datang di waktu paling bahagia, bisa pula di waktu manusia mulai mensyukuri kehidupannya, tetapi bagaimana dengan mereka yang mengambil nyawanya sendiri? Apakah kematian masih sama menyeramkannya? Mereka yang mengambil nyawanya sendiri, bunuh diri, mengakhiri hidupnya–apapun nama yang digunakan untuk menyebutnya–tentu saja memiliki alasannya sendiri, dan sudah sepatutnya orang yang tidak berkepentingan untuk tidak mengomentari hal tersebut, bukankah begitu?
Nyatanya tidak semua orang memiliki pola pikir yang sama. Pada kasus bunuh diri yang terjadi pada Jumat (28/06/2024) di flyover Cimindi yang sempat menjadi sorotan beberapa waktu lalu adalah salah satu contoh nyata bahwa masih ada beberapa orang yang menganggap bahwa kebebasan dalam berpendapat berarti bebas mengomentari setiap peristiwa yang ada. Penyebaran video dan foto tanpa sensor, catatan yang berisi curahan hati korban, dan komentar negatif yang diberikan tentunya tidak hanya berdampak bagi keluarga dan orang di sekitar korban, tetapi juga orang lain yang memiliki trauma terhadap tindakan serupa.
Jika menilik kasus ini dari respon masyarakat melalui media sosial seperti X, ada berbagai pendapat yang diberikan mulai dari yang bersimpati, menganalisis kejadian, bahkan mencari keuntungan dari besarnya kasus. Dilihat dari unggahan salah satu pengguna X @yoz**iam yang melampirkan video bahwa banyak sekali akun instagram yang menggunakan nama korban dan membuat cerita instagram yang berisikan link shopee affiliate. Selain itu, terdapat pula komentar negatif yang diberikan seperti “Dek maot oge nyusahkeun batur (Sudah mati aja menyusahkan teman)”; “lemah”; dan lain sebagainya.
Kemudahan dalam menggali informasi serta menyebarkannya untuk kemudian diakses khalayak umum terkadang tidak selamanya berarti baik, anonimitas dalam dunia maya nyatanya masih sering dipergunakan dengan kurang bijak oleh sebagian orang, demi mencari keuntungan moral dan finansial ataupun sekadar mencari perhatian hingga mencemooh tanpa dasar. Sangat disayangkan, di dunia yang serba cepat ini kemudahan dalam mengakses informasi justru melalaikan kita akan etika-etika dasar dalam bersosial media, karena tentu sebagai individu yang bijaksana kita tidak mau merugikan orang lain, bukan? Nah untuk itu, berikut beberapa tips dalam menggunakan media sosial dengan lebih bijaksana.
Beberapa etika dasar dalam bersosial media di antaranya:
- Gunakan bahasa yang baik, tidak melulu harus menggunakan bahasa baku, cukup gunakan bahasa yang sopan dan tidak merugikan pihak manapun.
- Hati-hati dalam penyebaran informasi, jangan mudah untuk terpengaruh berita yang belum pasti kebenarannya, terlebih hingga ikut menyebarkan.
- Ingat arti penting privasi, kemudahan untuk mengakses dan menggali informasi setiap pengguna lain tentu jangan disalah gunakan, selalu pertimbangkan izin dari si pemilik informasi sebelum menyebarkannya, ya!
- Terakhir, jangan lupa untuk menggunakan media sosial dalam kebajikan, manfaatkan segala kemudahan yang bisa dicapai melalui internet untuk kebaikan bersama!
Psikologi Jurnalistik 2024
Salam tinta, salam cinta, Psikojur Jaya!
#KritisInPsikojur