Di Balik Aturan Skripsi Selesai Dalam Satu Semester

Oleh : Muri

AksaRoom - Sekitar bulan Juli 2020 lalu, dalam sebuah pertemuan bersama Bu Wadek, mahasiswa Psikologi angkatan 2017 disuruh untuk mengupayakan agar skripsinya bisa selesai dalam satu semester. Perintah ini berbarengan dengan perintah lain, yaitu mahasiswa yang mengambil mata kuliah skripsi tidak boleh mengambil lebih dari 12 SKS. Alasannya agar bisa fokus pada menyelesaikan skripsi. Pertanyaannya, memangnya ada peraturan yang mengatur tentang ini?

Peraturan memang belum saya temukan, namun dalam Buku Panduan Skripsi Fakultas Psikologi Undip (2020) menjelaskan bahwa batas maksimal penyusunan skripsi bagi Mahasiswa Kurikulum Pendidikan Tinggi (KPT) 2017 dan Kurikulum Merdeka (KM) 2020 adalah diupayakan satu semester terhitung sejak mahasiswa meng-input mata kuliah skripsi pada IRS. Walaupun memang ada kata “diupayakan” di situ, namun tetap saja, ini sempat, dan mungkin akan terus, menimbulkan dinamika di tengah mahasiswa. Pertanyaannya, apa sebenarnya tujuan di balik aturan ini?

Sebelum masuk lebih jauh pada pembahasan, saya ingin meluruskan bahwa pertama, menyelesaikan skripsi dalam waktu satu semester memang keren dan patut diapresiasi. Meski demikian, bukan berarti kita tidak boleh menelaah lebih jauh dan “menyusun puzzle” terkait alasan di balik perintah tersebut. Kedua, tulisan ini berisi opini dan analisis pribadi saya sebagai mahasiswa Psikologi Undip, bukan menjadi kebenaran mutlak. Oleh karenanya saya harapkan kebijaksanaan pembaca dalam memahami tulisan ini.

Motif Ekonomi di Balik Kebijakan

Pertanyaan kira-kira apa di balik aturan ini dapat dipetakan ke dalam dua jawaban. Pertama, alasan demi masa depan mahasiswa. Ini adalah jawaban yang paling normatif dan mungkin akan keluar dari pembuat kebijakan terkait, bahwa aturan ini demi kebaikan mahasiswanya juga. Namun bisa kita pertanyakan lagi, apa masa depan mahasiswa yang dimaksud?

Jawabannya simpel, masa depan lulusan adalah bekerja di perusahaan. Eits, memang tidak menutup kemungkinan bahwa mahasiswa yang sudah lulus akan melanjutkan ke jenjang S2, tapi apa menguntungkannya itu bagi kampus magenta?

Dalam website resmi Kemendikbud, pada tahun 2020 ini empat aspek dalam klasterisasi Perguruan Tinggi (PT) adalah input, proses, output, dan outcome. Pada bagian outcome, indikator yang digunakan adalah persentase lulusan perguruan tinggi yang memperoleh pekerjaan dalam waktu enam bulan. Dengan kata lain, jumlah mahasiswa yang lanjut S2 tidak diperhitungkan dalam klasterisasi PT.

Alasan lain adalah pengaruh Mas Menteri Nadiem Makarim dengan Kampus Merdeka-nya yang sejak setahun lalu dituding sebagai kebijakan businessman. Kok bisa? Ya karena fokusnya adalah menyiapkan anak-anak ke dunia kerja kelak. Itulah kenapa magang diwajibkan dan kuliah lintas bidang dibuka, karena korporat sekarang sedang mencari tenaga kerja yang ahli nan berpengalaman (ini kata orang loh ya, hehe).

Kedua, alasan biar kampus semakin tajir. Kok bisa? Sebagaimana kita tahu, besaran UKT pada mahasiswa baru tahun 2020 bertambah dari tahun-tahun sebelumnya. Bukan cuma itu, jumlah mahasiswa Psikologi pun kian bertambah di tahun 2020.

Logikanya, semakin banyak mahasiswa baru masuk, semakin banyak juga uang yang diterima. Oleh karenanya, mahasiswa dengan kebijakan besaran UKT yang lama harus segera keluar, agar mahasiswa-mahasiswa baru dengan jumlah UKT lebih besar bisa masuk dan fakultas tidak over capacity.

Dilema Tujuan Pendidikan

Kalau memang tujuan dari kebijakan ini adalah alasan pertama, demi lulusan yang bisa segera bekerja agar kampus bisa mendapat nama, lalu apa gunanya peringkat atau status klasterisasi itu? Philip G. Albatch, pakar pendidikan tinggi internasional dari Boston College, Amerika Serikat, menjelaskan ada dua alasan kenapa PT berjuang mati-matian demi peringkat. Pertama, ranking sebagai bentuk akuntabilitas, dan kedua, ranking sebagai "magnet".

Tidak bisa dipungkiri bahwa ranking banyak digunakan PT untuk mencapai tujuan lain seperti gengsi, mahasiswa dan dosen terbaik, serta pemasukan uang. Ranking adalah “magnet” terbaik, itulah mengapa persaingan antar PT tidak terelakkan lagi. Terus, ujung-ujungnya kemana? Ya alasan kedua, uang.

Rasanya aturan ini dibuat tanpa pertimbangan, atau mungkin lupa, bahwa lamanya penyelesaian skripsi bukan hanya faktor mahasiswa yang malas saja. Ada faktor dosen yang lama merespon mahasiswanya, kemudian faktor metode yang digunakan, sehingga tidak realistis bila penelitian dilakukan hanya dalam empat bulan, dan masih banyak faktor lainnya. Pertanyaannya, apa yang sudah kampus lakukan dengan itu semua?

Sudahkah menegur dosen pembimbing yang lama merespon mahasiswa? Kalau cuma menyuruh mahasiswa bersabar dan memahami betapa sibuknya dosen terkait, lebih baik aturan itu dihapuskan saja dan biarkan jadi SOP motivasi dari dosen pembimbing kepada mahasiswanya. Atau tambah dosennya lah agar tidak ada alasan terlalu sibuk. Kan sudah punya banyak uang, bisa lah buat menggaji dosen baru yang lebih dedikatif, hehe.

Psikologi Jurnalistik,
Salam tinta, salam cinta, Psikojur jaya!
#AksaRoomPsikojur

--

--

Lembaga Pers Mahasiswa Psikologi Jurnalistik
Lembaga Pers Mahasiswa Psikologi Jurnalistik

Written by Lembaga Pers Mahasiswa Psikologi Jurnalistik

Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro - Salam tinta, salam cinta, Psikojur jaya!

No responses yet